DibacaNormal 4 menit. Ali bin Abu Thalib, sepupu sekaligus menantu Nabi Muhammad, terbunuh akibat krisis politik dan ketidakpuasan yang membelit pemerintahannya. Sehari sebelum operasi militer dimulai, Ali bin Abu Thalib memasuki masjid di Kufa untuk sembahyang Subuh hari Jumat. Di sana, seseorang bernama Abd al-Rahman ibn 'Amr Lelaki itu berusia sekitar 58 tahun. Pada hari kesepuluh bulan Muharram, di tahun 61 H, selepas menunaikan shalat subuh, dia bergegas keluar tenda dan menaiki kuda kesayangannya. Pria itu menatap pasukan yang tengah mengepungnya. Mulailah dia berpidato yang begitu indah dan menyentuh hati قال أما بعد، فانسبوني فانظروا من أنا، ثم ارجعوا إلى أنفسكم وعاتبوها، فانظروا، هل يحل لكم قتلي وانتهاك حرمتي؟ ألست ابن بنت نبيكم ص وابن وصيه وابن عمه، وأول المؤمنين بالله والمصدق لرسوله بما جاء به من عند ربه! او ليس حمزة سيد الشهداء عم أبي! أوليس جعفر الشهيد الطيار ذو الجناحين عمى! [او لم يبلغكم قول مستفيض فيكم إن رسول الله ص قال لي ولأخي هذان سيدا شباب أهل الجنة!] فإن صدقتموني بما أقول- وهو الحق- فو الله ما تعمدت كذبا مذ علمت أن الله يمقت عليه أهله، ويضر به من اختلقه، وإن كذبتموني فإن فيكم من إن سألتموه عن ذلك أخبركم، سلوا جابر بن عبد الله الأنصاري، أو أبا سعيد الخدري، أو سهل بن سعد الساعدي، أو زيد بن أرقم، أو أنس بن مالك، يخبروكم أنهم سمعوا هذه المقاله من رسول الله ص لي ولأخي. أفما في هذا حاجز لكم عن سفك دمي! “Lihat nasabku. Pandangilah siapa aku ini. Lantas lihatlah siapa diri kalian. Perhatikan apakah halal bagi kalian untuk membunuhku dan menciderai kehormatanku. “Bukankah aku ini putra dari anak perempuan Nabimu? Bukankah aku ini anak dari washi dan keponakan Nabimu, yang pertama kali beriman kepada ajaran Nabimu? “Bukankah Hamzah, pemuka para syuhada, adalah Pamanku? Bukankah Ja’far, yang akan terbang dengan dua sayap di surga, itu Pamanku? “Tidakkah kalian mendengar kalimat yang viral di antara kalian bahwa Rasulullah berkata tentang saudaraku dan aku “keduanya adalah pemuka dari pemuda ahli surga”? “Jika kalian percaya dengan apa yang aku sampaikan, dan sungguh itu benar karena aku tak pernah berdusta. Tapi jika kalian tidak mempercayaiku, maka tanyalah Jabir bin Abdullah al-Anshari, Abu Sa’id al-Khudri, Sahl bin Sa’d, Zaid bin Arqam dan Anas bin Malik, yang akan memberitahu kalian bahwa mereka pun mendengar apa yang Nabi sampaikan mengenai kedudukan saudaraku dan aku. “Tidakkah ini cukup menghalangi kalian untuk menumpahkan darahku?” Kata-kata yang begitu eloknya itu direkam oleh Tarikh at-Thabari 5/425 dan Al-Bidayah wan Nihayah 8/193. Namun mereka yang telah terkunci hatinya tidak akan tersadar. Pasukan yang mengepung atas perintah Ubaidullah bin Ziyad itu memaksa pria yang bernama Husein bin Ali itu untuk mengakui kekuasaan Khalifah Yazid bin Mu’awiyah. Tidakkah ini menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa pertarungan di masa Khilafah dulu itu sampai mengorbankan nyawa seorang Cucu Nabi SAW. Apa masih mau bilang khilafah itu satu-satunya solusi umat? Simak pula bagaimana Ibn Katsir dalam al-Bidayah wan Nihayah bercerita bagaimana Sayidina Husein terbunuh di Karbala pada 10 Muharram asyura. Pasukan memukul kepala Husein dengan pedang hingga berdarah. Husein membalut luka di kepalanya dengan merobek kain jubahnya. Dan dengan cepat balutan kain terlihat penuh dengan darah Husein. Ada yang kemudian melepaskan panah dan mengenai leher Husein. Namun beliau masih hidup sambil memegangi lehernya menuju ke arah sungai karena kehausan. Shamir bin Dzil Jawsan memerintahkan pasukannya menyerbu Husein. Mereka menyerang dari segala penjuru. Mereka tak memberinya kesempatan untuk minum. Ibn Katsir menulis “Yang membunuh Husein dengan tombak adalah Sinan bin Anas bin Amr Nakhai, dan kemudian dia menggorok leher Husein dan menyerahkan kepala Husein kepada Khawali bin Yazid.” Al-Bidayah, 8/204. Anas melaporkan bahwa ketika kepala Husein yang dipenggal itu dibawa ke Ubaidullah bin Ziyad, yang kemudian memainkan ujung tongkatnya menyentuh mulut dan hidung Husein, Anas berkata “Demi Allah! sungguh aku pernah melihat Rasulullah mencium tempat engkau memainkan tongkatmu ke wajah Husein ini.” Ibn Katsir mencatat 72 orang pengikut Husein yang terbunuh hari itu. Imam Suyuthi dalam Tarikh al-Khulafa mencata 4 ribu pasukan yang mengepung Husein, dibawah kendali Umar bin Sa’d bin Abi Waqash. Pada hari terbunuhnya Husein, Imam Suyuthi mengatakan dunia seakan berhenti selama tujuh hari. Mentari merapat laksana kain yang menguning. Terjadi gerhana matahari di hari itu. Langit terlihat memerah selama 6 bulan. Imam Suyuthi juga mengutip dari Imam Tirmidzi yang meriwayatkan kisah dari Salma yang menemui Ummu Salamah, istri Nabi Muhammad, yang saat itu masih hidup Ummu Salamah wafat pada tahun 64 H, sementara Husein terbunuh tahun 61 H. Salma bertanya “Mengapa engkau menangis?” Ummu Salamah menjawab “Semalam saya bermimpi melihat Rasulullah yang kepala dan jenggot beliau terlihat berdebu. Saya tanya mengapa engkau wahai Rasul?’ Rasulullah menjawab “saya baru saja menyaksikan pembunuhan Husein.’” Begitulah dahsyatnya pertarungan kekuasaan di masa khilafah dulu. Mereka tidak segan membunuh cucu Nabi demi kursi khalifah. Apa mereka sangka Rasulullah tidak akan tahu peristiwa ini? Lantas apakah mereka yang telah membunuh Sayidina Husein kelak masih berharap mendapat syafaat datuknya Rasulullah di padang mahsyar? Dalam kisah yang memilukan ini sungguh ada pelajaran untuk kita semua. Al-Fatihah... Nadirsyah Hosen, Rais Syuriyah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand, Dosen Senior Monash Law School Australia
Alibin Husein. Kebangsaan. Arab Yaman - Indonesia. Al Habib Ali bin Husein al-Attas atau lebih dikenal dengan Habib Ali Bungur adalah ulama yang masyhur ditanah Betawi. Jika dirunut garis keturunannya, ia punya hubungan keturunan langsung dengan Nabi Muhammad ﷺ. [1] Pada akhir hayatnya, ia dan keluarga tinggal di Bungur, Jakarta Pusat. [2]
loading...Ilustrasi Imam Husain bin Ali radhiallahu anhu cucu kesayangan Nabi Muhammad SAW ketika syahid di pertempuran Karbala Irak. Foto/Ist Husain bin Ali radhiallahu 'anhu حسين بن‎ adalah cucu kesayangan Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wa sallam yang merupakan putra dari Sayyidah Fatimah az-Zahra dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib RA . Berikut karomah beliau seperti diceritakan dalam buku "Kisah Karomah Wali Allah" karangan Syeikh Yusuf bin Ismail Syihab al-Zuhri menuturkan bahwa semua orang yang terlibat dalam pembunuhanAl- Husain mendapat siksa di dunia. Ada yang dibunuh, buta, wajahnya menghitam, atau kehilangan kekuasaan dalam waktu singkat. Di antara yang mengalaminya adalah Abdullah bin Khashin. Baca Juga Ketika pihak Yazid bin Muawiyah dan Husain berperang dan mereka menghalangi Husain untuk mendapatkan air, Abdullah memanggil Husain lalu berkata, "Hai Husain ! Tidakkah kamu lihat air itu seolah-olah berada di tengah-tengah langit. Demi Allah, kamu tidak akan merasakan setetes air pun, sampai kamu mati kehausan." Kemudian Husain berdoa, "Ya Allah, semoga dia mati kehausan".Lalu Abdullah meminum air itu tanpa henti tetapi dahaganya tidak hilang juga, sampai ia mati kehausan. Dikemukakan oleh Imam al-Syali Ba’lawi dalam kitab Al Masyru’ al-Marwi Dalam kisah lain diceritakan bahwa Husain berdoa ketika hendak meminum air yang dibawanya, tiba- tiba seorang laki-laki yang dikenal sebagai seorang penakut memanah Husain. Anak panah itu mengenai langit-langit mulut Husain sehingga ia tidak bisa minum. Lalu Husain RA berdoa, "Ya Allah, berikan rasa haus kepadanya". Maka orang yang keji itu berteriak-teriak karena perutnya kepanasan dan punggungnya kedinginan. Kemudian di depannya diletakkan es dan kipas, sementara di belakangnya diletakkan tungku perapian, dia berteriak, "Beri aku minum!" Baca Juga Lalu ia diberi satu wadah besar berisi arak, air, dan susu, yang cukup untuk lima orang. Ia meminumnya, tetapi ia tetap berteriak kehausan. Ia diberi minum lagi dengan ukuran semula, lalu meminumnya sampai perutnya kembung seperti perut unta. Dituturkan oleh Ibnu Hajar dalam Kitab Al- Shawa'iqAl-Syali juga menceritakan bahwa ada seseorang yang hanya menghadiri pembunuhan Husain , lalu ia menjadi buta. Ketika ditanya tentang sebab kebutaannya, ia menceritakan bahwa ia melihat Nabi SAW memegang pedang, dan di depan beliau terhampar tikar dari kulit. Ia juga melihat 10 orang pembunuh Husain disembelih di hadapan Nabi. Nabi mencela dan mencemoohnya karena telah ikut mendukung para pembunuh Nabi menempelkan celak dari darah Husain ke matanya, lalu ia menjadi buta. Dalam Kisah lain, Asy-Syali menceritakan bahwa ada seseorang yang menggantung kepala Husain dengan tali pelana kudanya. Beberapa hari kemudian, wajahnya tampak lebih hitam daripada aspal. Ada seseorang yang berkata kepadanya, "Anda adalah orang Arab yang paling hitam wajahnya". Dia berkata, "Pada malam ketika aku memegang kepala Husain itu, lewatlah dua orang yang mencengkeram lenganku. Mereka menggiringku ke arah api yang menyala-nyala dan mendorongku masuk ke dalamnya. Aku hanya bisa menunduk lemah, api itu menghanguskan kulitku sehingga hitam legam seperti yang kau lihat". Akhirnya ia tewas dalam kondisi mengenaskan. Husain yang merupakan adik kandung dari Imam Hasan RA wafat dalam pertempuran Karbala yang terjadi di Karbala Irak. Beliau syahid pada hari Jumat, bulan Asyura Muharram, 61 Hijriyah. Semoga Allah Ta'ala meridhoinya. Baca Juga Wallahu Ta'ala A'lamrhs
Sebuahkesaksian atas pembunuhan Husain bin Ali yang kontroversial dikalangan Suni, ternyata telah disaksikan banyak orang Syiah, bahwa pembunuh itu masih satu almamater dengan Syiah. Tuduhan tuduhan Syiah yang ditujukan pada sunni, tertolaklah sudah dengan argumen Syiah sendiri tentang kematian Husain di Karbala.
JAKARTA – Perang Thaf dengan dua pasukan yang tak berimbang di Karbala berujung pada kematian cucu Rasulullah ﷺ, Al Husain. Tragedi pada tahun 61 Hijriyah itu merupakan musibah yang begitu besar. Dikutip dari buku Inilah Faktanya karya Dr Utsman bin Muhammad al-Khamis, pada pagi hari Jumat, berkobarlah peperangan antara dua pasukan tersebut. Karena, Al Husain radhiyallahu anhu menolak untuk menyerah kepada Ubaidullah bin Ziyad. Perang ini terjadi antara dua pasukan yang tidak sermbang. Maka, para pengikut Al Husain memandang bahwa percuma saja menghadapi pasukan sebanyak ini. Maka, satu-satunya keinginan mereka adalah mati membela Al Husain bin Ali. Mereka pun gugur satu persatu di hadapan Al Husain, sampai semuanya meninggal. Tidak ada yang tersisa dari mereka kecuali Al Husain dan anaknya yang sedang sakit, Ali bin Al Husain. Hanya tinggal Al Husain radhiyallahu anhu sendirian. Sepanjang siang, tidak ada seorang pun yang berani mendekat ke arahnya, karena mereka takut mendapat petaka bila membunuhnya. Situasi ini terus berlangsung sampai kemudian Syamr bin Dzul Jausyan datang, kemudian berseru “Celakalah kalian! Semoga ibu-ibu kalian kehilangan kalian! Kepung dan bunuh dia!” Mereka pun maju dan mengerubungi Al Husain bin Ali. Al Husain berjuang di tengah-tengah mereka dengan pedangnya, sehingga berhasil membunuh siapa saja yang bisa dibunuh. Hari itu ia seperti binatang buas dalam keberanian. Namun keberanian saja tak cukup mumpuni untuk mengalahkan kuantitas yang banyak. Syamr berseru “Celakalah kalian! Apa yang kalian tunggu? Ayo maju!” Mereka pun maju hingga al-Husain radhiyallahu anhu terbunuh. Baca juga Perang Mahadahsyat akan Terjadi Jelang Turunnya Nabi Isa Pertanda Kiamat Besar? Orang yang secara langsung menewaskan Al Husain adalah Sinan bin Anas an-Nakhai. Dialah yang memotong kepala Al Husain. Ada yang mengatakan, yang membunuh secara langsung adalah Syamr, semoga Allah Azza wa Jalla membinasakan mereka. Setelah Al Husain radhiyallahu anhu terbunuh, kepalanya dibawa ke hadapan Ubaidullah di Kufah. Sesampainya di sana, Ubaidullah menggosok-gosok kepala al-Husain dengan sebatang kayu seraya memasukkannya ke mulutnya, dan berkata, “Alangkah bagus giginya!” Anas bin Malik radhiyallahu anhu berkata, “Demi Allah, aku akan mendoakan keburukan untukmu! Sungguh, aku melihat sendiri Rasulullah ﷺ mencium mulut Al Husain tempat engkau memasukkan kayumu itu!” Al-Mujamul Kabir Ibrahim an-Nakhai berkata, “Seandainya aku termasuk orang-orang yang ikut dalam pembunuhan Al Husain, kemudian aku dimasukkan ke dalam Surga, niscaya aku akan sangat malu lewat di depan Rasulullah SAW dan wajahku dilihat oleh beliau.” Al-Mujamul Kabir
PengakuanSyiah pembunuh-pembunuh Husain radhiyallahu anhu ini diabadikan oleh ulama-ulama Syiah yang merupakan rujukan dalam agama mereka seperti Baqir al-Majlisi, Nurullah Syusytari, dan lain-lain di dalam buku mereka masing-masing. Husain bin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhuma gugur terbunuh di tanah Karbala. nasib Syiah yang
"Ben Ali acabou de morrer na Arábia Saudita", disse o advogado Mounir Ben Salha à Reuters por telefone. Desde que foi exilado, Ben Ali nunca mais apareceu em público. A queda de Ben Ali levou a uma transição democrática em seu país natal que começou em 2011. Na época, o ex-chefe de segurança já mandava na Tunísia há 23 anos - depois de assumir o poder de Habib Bourguiba, presidente vitalício que havia sido declarado incapaz de governar por motivos de saúde. Na foto, de 1986, Habib Bourguiba de óculos escuros cumprimenta seu então primeiro-ministro Ben Ali, em Túnis, capital da Tunísia. — Foto AFP No cargo, Ben Ali tentou reprimir qualquer forma de dissidência política. Ele também abriu a economia, em uma política que levou a um crescimento rápido, mas também alimentou desigualdades e acusações de corrupção, inclusive entre seus próprios parentes. Durante essa época, sua fotografia era exibida em todas as lojas, escolas e escritórios do governo, desde os balneários da costa do Mediterrâneo até as vilas empobrecidas e cidades mineiras do interior montanhoso da Tunísia. Nas poucas ocasiões em que seu governo foi posto em votação, ele enfrentava apenas oposição nominal e vencia a reeleição com mais de 99% dos votos. Carreira Na foto, de 1988, Ben Ali posa para uma foto oficial com a bandeira da Tunísia. — Foto AFP A ascensão de Ben Ali começou no exército, depois que Bourguiba conquistou a independência da Tunísia da França em 1956. Ele era chefe de segurança militar desde 1964 e de segurança nacional desde 1977. Depois de três anos como embaixador na Polônia, ele foi chamado de volta ao seu antigo emprego de segurança em 1984 para reprimir tumultos sobre os preços do pão. Então um general, foi nomeado ministro do Interior em 1986 e primeiro-ministro em 1987. Levou menos de três semanas para consegur uma nova promoção para um cargo mais alto reuniu uma equipe de médicos para declarar Bourguiba senil. Ele assumiu então, de forma automática, o cargo de chefe de Estado. Sua primeira década como presidente incluiu uma grande reestruturação econômica - apoiada pelo Fundo Monetário Internacional e pelo Banco Mundial - e uma taxa de crescimento anual pouco acima de 4% ao ano. Estado de polícia Posicionada entre a Líbia de Muammar Kadhafi e uma Argélia lançada em guerra civil entre o governo apoiado pelo exército e militantes islâmicos, a Tunísia de Ben Ali seguiu o caminho pós-independência do secularismo e abertura para o exterior. Mas, do lado de dentro, críticos diziam que a Tunísia era um Estado policial, onde poucos ousavam desafiar um governo todo-poderoso. Em um país onde muitos já haviam experimentado a vida sob a democracia em outros lugares, o Estado opressivo de Ben Ali foi motivo de desgaste. Enquanto a elite acumulava riqueza em suas vilas extravagantes à beira-mar, os primeiros anos de promessas populistas de Ben Ali pouco rendiam aos pobres. O estilo de vida luxuoso de sua esposa, Leila Trabelsi, e de seus parentes ricos passou a simbolizar a corrupção de uma época. Levante Homem observa homenagem durante a celebração do segundo aniversário da revolução tunisiana em foto de janeiro de 2013 — Foto Anis Mili/Reuters Nas províncias, nas cidades mineradoras do sul e nas aldeias rurais sem água corrente, a raiva crescia, levando a um pequeno movimento de protesto em 2008 - às vezes chamado "a pequena revolução". Para Ben Ali, o fim repentino chegou quando um vendedor desesperado de vegetais ateou fogo em si mesmo na cidade de Sidi Bouzi, em dezembro de 2010, depois que a polícia confiscou seu carrinho de mão. Milhares de pessoas furiosas compareceram ao funeral dele, provocando semanas de protestos ainda maiores em que vários morreram. Em meados de janeiro de 2011, Ben Ali embarcou em um avião para a Arábia Saudita. Mais tarde, no mesmo ano, um tribunal tunisiano o sentenciou, à revelia, a 35 anos de prisão. Transição para a democracia Eleitores contam votos em Túnis após eleições presidenciais na Tunísia — Foto Muhammad Hamed/Reuters Hoje, oito anos após o levante, as condições de vida ainda são difíceis em algumas áreas, com o desemprego maior do que em 2010 e os serviços públicos parecendo ter se deteriorado. Os tunisianos frequentemente reclamam que os padrões de vida caíram desde a revolução e falam da vida sob Ben Ali como mais confortável do ponto de vista material. Mas poucos falam com nostalgia de seu estilo de governo, ou dizem que querem o fim da democracia.
Sayyidussyuhadaaal-husain bin aliاَلْحُسَيْنُ بْنُ عَلِيِّkaligrafi husain bin aliimamahmasa jabatan670-680pendahuluhasan bin alipenggantiali zainal abidin data pribadilahir10 januari 626(3 sya'ban 4 h)madinah, hijaz, arabiawafat10 oktober 680(680-10-10) (umur 54)(10 muharram 61 h)karbala, kekhalifahan umayyahsebab wafatdipancung saat pertempuran
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Dalam menyikapi para sahabat dan orang shaleh di masa lalu adalah mencari informasi dari jalur yang shahih , untuk itu narasi sejarah jika tidak menampilkan riwayat yang shahih akan mengakibatkan fitnah besar orang orang yang memiliki kedekatan dengan rasul , harus di ingat baik baik bahwa yazid bin muawiyah tidak pernah untuk membunuh Al Husain bin Ali di yang di pimpin oleh Ubaidullah bin Ziyad di kirim oleh Yazid ke daerah khuffah untuk meredam kekacauan di sana, di saat ketika pasukan ini sampai di khuffah posisi Al Husain masih di Makkah dan belum berangkat ke khuffah. Jadi, jika kita sudah memahami bahwa Yazid mengutus Ubaidullah ke khuffah bukan untuk membunuh Al husain. Yang berarti inisiatif untuk membunuh Al Husain adalah inisiatif Ubaidullah sendiri bukan perintah dari Yazid bin Muawiyah. karena jika sasaran Yazid adalah Al Husain tentu saja ia akan mengirim Ubaidullah ke Makkah karena Al Husain berada di disini penulis sudah memahami jika Yazid bin Muawiyah tidak bersalah dalam masalah ini. kemudian mengapa Al Husain berangkat menuju khuffah dengan hanya membawa pengawal yang tidak banyak? Dengan Hanya membawa keluarganya saja sekitar kira kira 73 orang , hal itu karena orang-orang khuffah teralalu memberikan iming-iming kepada Al Husain, orang-orang khuffah di Irak mengira sebenarnya sudah dikenal sebagai orang-orang penuh dengan tipu daya Ali bin Thalib sendiri yang wafat di tangan mereka sehingga ada isu istiliah orang-orang khuffah itu hatinya untuk Ali bin Abi Thalib tetapi pedang-pedang mereka mengahabisi Ali bin Abi Thalib dan keluarganya. orang-orang khuffah memberikan iming-iming kepada Al Husain akan memberikan baiat mereka kepada Al Husain karena mereka tidak suka dengan Yazid, bukan hanya baiat tetapi juga pasukan besar dan juga dukungan yang dari seluruh penduduk irak , mulainya Al Husain tidak langsung percaya kabar itu , maka ia mengirimkan Muslim bin Aqil bin Abi Thalib yaitu sepupu Al Husein menuju ke khfufah untuk melihat keadaan lokasi tersebut, ketika sampai di khuffah muslim menemukan penduduk irak menghendaki Al Husein yang menjadi khalifah, sehingga mereka pun membaitkan Al Husein melalui Muslim bin musisi Al Husein dan muslim sama sekali tidak mengetahui tentang busuknya orang-orang khuffah ini padahal hakikatknya mereka ini lah orang-orang yang paling tidak berpinsip di dalam membela Al Husein, ketika Ubaidullah bin Ziyad di utus oleh yazid bin muawiyah ke khuffah untuk meredakan gejolak di khuffah. malahan, orang-orang khuffah justru ketakutan dan meninggalkan Muslim bin Aqil dengan kira-kira 30 orang pengwalnya , sedangkan di saat itu Ubdaidullah membawa kira-kira mungkin 1000 pasukan , para orang-orang yang katanya mendukung Al Husein justru mereka itu pengecut sejati, mereka meninggalkan Muslim bin Aqil dengan 30 orang pegawalnya, muslim pun di tangkap dan dibunuh oleh harus di ingat kembali, bahwa yang membunuh Muslim bin Aqil adalah inisiatif Ubaidullah itu sendiri bukan perintah Yazid , karena Yazid bin Muawiyah mengutus Ubadiullah ke khuffah untuk meredam gejolak orang-orang khuffah yang sudah ia ketahui seperti apa watak dan sifat mereka , orang-orang khuffah penuh dengan tipu daya dan licik, sekali lagi penulis ingatkan bahwa Ali bin Abi Thalib gugur di tangan mereka yaitu orang-orang khuffah , Al Husein sendiri tidak tahu apa yang terjadi di Khuffah saat itu , ia berangkat menuju Khuffah karena melihat adanya maslahat dengan hadirnya beliau di sana , beliau hanya membawa 73 orang keluarganya saja,hal ini menujukkan bahwa Al Husein percaya kepada orang-orang khuffah yang berjajnji memberikan dukungan baiat kepada mereka Al Husein , para sahabat rasul saat itu masih hidup seperti Sayid Al Khudri dan juga keluarga Nabi seperti Ibnu Abbas , telah memberikan saran kepada Al Husein untuk tidak berangkat ke Khuffah , mereka telah mengingatkan Al Husein bahwa ayahnya Ali bin Abi Thalib , gugur karena orang orang khuffah , namun Al Husein berangkat dengan rasa bimbang akan baik dan buruknya, lalu ketika Al Husein di pertengahan jalan beliau mendapatkan kabar bohong, bahwa Muslim bin aqil telah di bunuh di Khuffah, Al Husein pun sadar keputusannya ke khuffah adalah sesuatu yang salah , namun keluarga muslim mendesak Al Husein , mereka menuntut Al Husein mencari keadilan atas terbunuhnya Muslim bin Aqil, maka Al Husein pun melanjutkan perjalanan menuju khuffah ketika beliau sampai di karbala , beliau bertemu dengan pasukan yang di bawa oleh Ubaidullah bin Ziyad, disana lah pertempuran yang tidak seimbang itu terjadi , dan disni lah tipu daya orang-orang khuffah berulah , ketika mereka mengetahui Al Husein datang menuju Khuffah mereka tidak memberikan sambutan sama sekali dan ketika terjadi pertemuran di karbala , tidak ada satupun batang hidung orang-orang khuffah yang memberikan pertolonga kepada Al Husein , dan dari sinilah penulis paham bahwa orang-orang Syiah itu jahat busuk akan jiwanya , setelah orang-orang Ubaidullah bin Ziyad membunuh Al Husein dan memenggal kepalanya para ahlul bait dan orang-orang yang mengikuti Al Husein , mereka meletakkan Al Husein di dalam suatu bejana , dalam hadist yang diriwayatkan oleh Imam bukhari di nomor 3748, sangat jelas kali bahwa pembunuh Al Husein di karabala adalah pasukan Ubadiullah bin Ziyad , padahal Ubaidullah bin Ziyad adalah pendukung Ali pada perang Shiffin , dan membela ali pada saat itu , tetapi dengan tanganya itulah Al Husein gugur sebagai seorang syekh,meskipun Yazid bin Umaiyyah tidak bersalah di dalam ini, tapi para ulama sejarah menyalahkan yazid dalam satu hal yaitu , beliau tidak menangkap Ubadiullah dan mengkhisos Ubadiullah , padahal dia sudah jelas menyalahi perintah Yazid dan membunuh Al Husein beserta Alul bait bersamanya dengan sangat keji dan melampaui batas, karena itulah banyak orang-orang menuduh hal-hal negatif kepada Yazid bin UmaiyahKira-kira itulah sejarah singkat yang penulis bisa sampaikan semoga dari sini bagi para pembaca bisa mengambil pelajaran bahwa dalam menyikapi dalam suatu hal kita harus mengambil jalur tengah yaitu tidak berlebihan dan juga tidak meremehkan, dan kita juga mengambil jalur yang paling shahih karena itu yang paling aman dari pada bakalan timbul sebuah fitnah di massa yang akan datang. Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya Sepertihalnya Yarmuk yang menentukan nasib Syiria, perang Qadisiah pada tahun 637 M menentukan masa depan Persia. Khalifah Umar mengirim pasukan di bawah Sa'ad bin Abi Waqqas untuk menundukkan kota itu.Kemenangan yang diraih di wilayah itu membuka jalan bagi gerak maju tentara muslim ke dataran Eufrat dan Tigris. - Pemimpin Islam setelah Rasulullah dan khalifah pertama Abu Bakar wafat mengalami berbagai ujian. Umar bin Khattab sebagai khalifah kedua tewas dibunuh Abu Lu’Lu’ah, seorang pandai besi asal Persia. Ia mendendam setelah Persia ditaklukkan pasukan Islam. Pada suatu pagi saat Umar bin Khattab dan kaum Muslimin melaksanakan salat Subuh di Masjid Nabawi, Abu Lu’Lu’ah menikam tubuh khalifah hingga tersungkur dan meninggal dunia. Sementara khalifah ketiga, Utsman bin Affan, tewas dibunuh kaum oposisi saat terjadi krisis politik yang tidak puas dengan kepemimpinannya. Kaum Muslimin yang datang dari Mesir, Bashrah, dan Kufah mengepung rumah khalifah selama hampir empat puluh hari. Utsman bin Affan akhirnya tewas dihunjam dua tombak pendek milik para oposisi. Dan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat meninggal dunia dibunuh Abdurrahman bin Muljam, seorang kaum Khawarij, ketika ia sedang wudu untuk menunaikan salat Subuh. Abdurrahman bin Muljam yang datang tiba-tiba mengayunkan pedangnya yang terhunus. Khalifah keempat itu tak sempat mengelak hingga pedang mengenai kepalanya dan ia roboh. Beberapa saat kemudian ia meninggal dunia. Sejak kepemimpinan Ali bin Abi Thalib, Muawiyah dari Bani Umayyah yang berkedudukan di Syam atau Suriah terus merongrong. Ia berambisi merebut tampuk kekuasaan khalifah. Dua hari sepeninggal Khalifah Ali bin Abi Thalib, kaum Muslimin di Kufah sebagai pusat pemerintahan Islam membaiat Hasan bin Ali selanjutnya ditulis Hasan. Menurut Al-Hamid Al-Husaini dalam Al-Husein bin Ali, Pahlawan Besar dan Kehidupan Islam pada Zamannya 1978, beberapa saat sebelum Ali bin Abi Thalib wafat, salah seorang sahabatnya bertanya apakah para pengikutnya harus membaiat salah satu putranya, yakni Hasan. Ali bin Abi Thalib menjawab, “Aku tidak menyuruh dan tidak melarang.” Mulanya Hasan enggan menerima pembaiatan dirinya sebagai khalifah, tapi ia didesak penduduk Kufah sehingga akhirnya menerimanya. “Keengganan itu tampak sekali dari sikapnya yang pasif selama dua bulan sejak dibaiat sebagai khalifah. Selama itu ia tidak mengambil langkah apa pun juga terhadap ancaman Muawiyah bin Abu Sufyan di Syam yang sudah siap siaga hendak mencaplok seluruh dunia Islam,” tulis Al-Hamid Al-Husaini. Karakter Hasan yang lebih menyukai perdamaian membuat ia mengirim surat kepada Muawiyah, isinya mengajak Muawiyah untuk bergabung bersama orang-orang yang telah membaiatnya sebagai khalifah. Namun, Muawiyah yang telah berpengalaman dalam dunia politik justru menjawabnya dengan sinis. “Jika aku yakin bahwa engkau lebih tepat menjadi pemimpin daripada diriku, dan jika aku yakin bahwa engkau sanggup menjalankan politik untuk memperkuat kaum Muslimin dan melemahkan kekuatan musuh, tentu kedudukan khalifah akan kuserahkan kepadamu,” jawabnya. Muawiyah lalu melanjutkan dalam surat balasannya bahwa dirinya yakin jika ia lebih sanggup menjadi khalifah daripada Hasan karena lebih tua dan berpengalaman. Ia bahkan menyuruh Hasan untuk mendukung dirinya sebagai khalifah. Muawiyah lalu membawa pasukannya yang besar dari Syam menuju Kufah untuk menggulingkan Hasan yang telah dibaiat sebagai khalifah. Mendengar kabar pergerakan pasukan Muawiyah, Hasan mengumpulkan penduduk Kufah untuk bersiap melawan pasukan tersebut. Namun, penduduk Kufah yang telah membaiatnya sebagai khalifah justru merosot mentalnya. Sebagian dari mereka tidak menyambut seruan khalifah. Hanya sebagian saja yang bersiap maju ke medan pertempuran. Nahas, Ubaidillah bin Abbas, orang yang ditunjuk untuk memimpin pasukan yang bersiap membela khalifah tersebut ternyata berkhianat dan berbalik mendukung Muawiyah. Hal ini membuat semangat pasukan longsor. Malah karena persoalan politik lainnya, mayoritas penduduk Kufah berbalik hendak menjatuhkan khalifah. Di tengah situasi yang rumit tersebut, khalifah akhirnya memutuskan untuk melakukan perdamaian dengan Muawiyah. Salah satu poin perjanjian damai tersebut adalah menyerahkan kekhalifahan kepada Muawiyah. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari, yang dikutip Hamka dalam pengantar di buku karya Al-Hamid Al-Husaini, Rasulullah bersabda “Sesungguhnya anakku [Hasan]—Rasulullah kerap memanggil cucunya dengan ungkapan anakku’—ini adalah Sayid Tuan. Dan moga-moga Allah akan mendamaikan dengan anak ini di antara dua golongan kaum Muslimin.” Hal ini, menurut Hamka, memang terjadi pada tahun 40 Hijriyah saat Hasan menyerahkan kekuasaannya kepada Muawiyah, sehingga dua kubu yang berseteru dapat bersatu di bawah kekhalifahan Muawiyah. “Tahun penyerahan kuasa itu dinamai orang Aamul Jamaah’ atau tahun bersatu kembali,” tulis Baiat dari Kufah Hasan yang telah menyerahkan kekhalifahannya kepada Muawiyah akhirnya meninggalkan Kufah dan pergi ke Madinah. Sampai akhir hayatnya ia tinggal di kota tersebut. Sementara Muawiyah meninggal dunia pada tahun ke-60 Hijriyah setelah sebelumnya menobatkan Yazid bin Muawiyah selanjutnya ditulis Yazid, anaknya, sebagai putra mahkota yang akan meneruskan kepemimpinannya. Sepeninggal dua orang tersebut, sejarah mencatat bahwa kebencian Muawiyah kepada Ali bin Abi Thalib dan kebencian Muawiyah kepada Hasan, terus berlanjut ketika Yazid berkuasa yang membenci Husein, adiknya Hasan. Hal inilah yang akhirnya mengobarkan perang, atau lebih tepatnya pembantaian terhadap Husein dan pengikutnya di Karbala. Dalam catatan Al-Hamid Al-Husaini, kebencian Muawiyah terhadap Ali bin Abi Thalib dilatari tiga hal Pertama, fanatisme kekabilahan yang secara turun-temurun menanamkan kebencian dan permusuhan terhadap orang-orang Bani Hasyim Ali bin Abi Thalib keturunan Bani Hasyim. Kedua, karena Muawiyah tahu bahwa dalam peperangan masa lalu antara kaum Musyirikin Quraisy dan kaum Muslimin, banyak keluarga dan kerabatnya yang tewas di ujung pedang Ali bin Abi Thalib. Ketiga, Muawiyah mengenal tabiat Ali bin Abi Thalib sebagai sahabat Nabi yang keras membela kebenaran dan keadilan serta berani bertindak tegas terhadap kebatilan dan kezaliman. Naiknya Yazid sebagai penguasa baru yang berkedudukan di Damaskus, Syam, segera mengintai keselamatan Husein yang tinggal di Madinah. Mata-mata berkeliaran mengawasi gerak-gerik cucu Rasulullah tersebut. Demi keselamatan, ia beserta keluarganya akhirnya pindah ke Makkah. Penduduk Kufah yang semula daerahnya dijadikan pusat pemerintahan kekhalifahan, merasa kecewa dengan kepemimpinan Yazid. Mereka mengharapkan perubahan, dan harapan itu mereka sandarkan kepada Husein. Mereka lalu meminta Husein untuk pergi ke Kufah untuk mereka baiat sebagai khalifah. Dalam surat permintaan yang diterima Husein, mereka menyatakan bahwa lebih dari penduduk Muslimin Kufah telah siap menerima kedatangannya. Meski kabar tersebut merupakan angin segar bagi Husein karena ternyata ada dukungan yang begitu besar untuk menghadapi kezaliman Yazid, tapi ia tak buru-buru menerima permintaan tersebut. Mula-mula ia mengutus Muslim bin Aqil pergi ke Kufah untuk memperoleh keterangan yang pasti tentang keadaan yang sebenarnya. Tak lama setelah tiba di Kufah, Muslim bin Aqil menulis surat kepada Husein yang isinya menginformasikan bahwa penduduk Kufah telah bulat untuk membaiat Husein sebagai khalifah. Namun, kabar kedatangan Muslim bin Aqil ke Kufah dan rencana pembaiatan Husein sebagai khalifah terdengar oleh Yazid. Ia lalu mengganti kepada daerah Kufah, Nu’man bin Bisyr oleh Ubaidillah bin Ziyad yang terkenal kejam. Pergantian kepala daerah tersebut membuat penduduk Kufah ketakutan, dan nasib Muslim bin Aqil pun diintai marabahaya. Setelah mencoba bersembunyi di rumah penduduk, akhirnya Muslim bin Aqil tertangkap dan dibunuh pasukan Ubaidillah bin Ziyad. Situasi Kufah yang telah berubah drastis dan terbunuhnya Muslim bin Aqil tak segera diketahui Husein. Kabar yang ia terima lewat surat yang dikirimkan utusannya tempo hari membuat Husein yakin untuk berangkat ke Kufah. Sejumlah sahabat dan keluarga Husein menasihatinya agar ia membatalkan niatnya untuk berangkat ke Kufah. Mereka mencemaskan Husein dan ragu akan sikap penduduk Kufah. “Aku khawatir kalau mereka membohongimu dan akan membiarkanmu menghadapi musuh seorang diri, bahkan tidak mustahil mereka akan berbalik menghantammu dan akan berlaku kejam terhadap keluargamu,” Kata Abdullah bin Abbas, saudara Husein. Nasihat serupa disampaikan juga oleh Abdullah bin Ja’far, ipar Husein. Ia tergesa-gesa menulis surat dari Madinah dan diantarkan langsung oleh kedua orang anak laki-lakinya kepada Husein. “Aku minta dengan sangat supaya anda membatalkan rencana keberangkatan ke Kufah setelah menerima suratku ini. Aku benar-benar khawatir kalau niat anda itu akan mengakibatkan anda binasa bersama segenap anggota keluarga anda. Kalau hal itu sampai terjadi, maka padamlah cahaya di permukaan bumi ini. Ingatlah, bahwa diri anda sesungguhnya adalah lambang semua orang beriman,” tulis Abdullah bin Ja’far. Pembantaian Karbala Namun, semua nasihat dan kekhawatiran yang terpancar dari keluarga dan para sahabatnya tidak berhasil membatalkan niat Husein untuk pergi ke Kufah. Keharuan menyelimuti penduduk Makkah saat mereka akhirnya terpaksa melepas Husein dan rombongannya yang hendak menuju Kufah pada 18 Zulhijah tahun ke-60 Hijriyah. Sebelum tiba di Kufah, Husein mengutus Qeis bin Mashar As-Saidawiy untuk pergi ke kota tersebut, untuk memastikan kembali situasi Kufah. Namun nahas, Qeis bin Mashar As-Saidawiy tertangkap Ubaidillah bin Ziyad dan pasukannya, lalu ia dibunuh. Saat Qeis bin Mashar As-Saidawiy pergi menjalankan perintahnya, datang kabar kepada Husein tentang kematian Muslim bin Aqil dan situasi Kufah yang telah berubah. Namun, Husein beserta sebagian rombongan terus melanjutkan perjalanan menuju Kufah. Kabar kedatangan Husein dan rombongannya di dekat perbatasan Kufah disambut dingin penduduk Kufah yang konon lebih dari ribu orang menyatakan janji setianya kepada Husein. Kekhawatiran keluarga dan sahabat Husein di Makkah yang menasihatinya agar tidak berangkat ke Kufah ternyata benar. Rombongan Husein tiba di Karbala pada 2 Huharram 61 Hijriyah di bawah pengawasan ketat pasukan berkuda utusan Ubaidillah bin Ziyad yang dipimpin oleh Al-Hurr bin Yazid At-Tamimiy. Sementara Ubaidillah bin Ziyad sang kepala daerah Kufah kemudian menyiapkan pasukan tempur berkekuatan 4000 orang dengan persenjataan lengkap yang dipimpin oleh Umar bin Sa’ad bin Abi 10 Muharam 61 Hijriyah atau 10 Oktober 680 Masehi, tepat hari ini 1338 tahun lalu, 4000 pasukan yang dipimpin Umar bin Sa’ad bin Abi Waqqash menyerbu rombongan Husein yang hanya berkekuatan 72 orang; 32 orang prajurit berkuda dan 40 orang pejalan kaki, selebihnya terdiri dari anak-anak dan perempuan. Pasukan Husein bertempur merangsek menghadapi hujan panah, lembing, tombak, dan ayunan pedang pasukan musuh. Namun, mereka akhirnya tumpas. Setelah pasukannya habis, akhirnya Husein pun Karbala merupakan kelanjutan dari riwayat panjang tentang perselisihan dan permusuhan kaum Muslimin sepeninggal Rasulullah. Karen Amstrong dalam Sepintas Sejarah Islam 2000 menyebutnya sebagai "fitnah" yang melanda dunia Islam. Dan Perang Karbala pula yang menjadi puncak permusuhan itu menjadi batu tapal dimulainya keterbelahan antara kaum Sunni dan Syiah secara luas di seluruh dunia. Persoalan politik itu seolah-olah menjadi hulu ledak bagi timbulnya perdebatan yang tak berkesudahan, sebab kemudian dibumbui juga oleh perbedaan lain yang disebut-sebut kaum Sunni sebagai perbedaan secara syariat dan akidah. Sunni dan Syiah sama-sama mencintai Ahlul Bait atau keluarga Rasulullah, tapi karena persoalan syariat dan akidah semakin meruncing, maka keduanya tak bisa disatukan laksana air dan pengantarnya di buku Al-Husein bin Ali, Pahlawan Besar dan Kehidupan Islam pada Zamannya 1978, Hamka menerangkan jika dirinya ditanya akan berpihak ke mana dalam pertentangan yang terjadi pada masa lalu itu, maka ia mengungkapkan bahwa dirinya akan berpendirian seperti para ulama terdahulu seperti Imam Abu Hanifah, Hasan Al Bishri, dan Umar bin Abdul Aziz yang berkata"Itulah darah-darah yang telah tumpah, yang Allah telah membersihkan tanganku dari percikannya; maka tidaklah aku suka darah itu melumuri lidahku." - Sosial Budaya Penulis Irfan TeguhEditor Ivan Aulia Ahsan Dalammakalah yang singkat ini penulis ingin mencoba membahas tentang biografi, metode, corak, serta alasan dan motivasi apa yang mendorong Jalaluddin Rahmat untuk menciptakan sebuah karya penafsiran yang berjudul Tafsir Bil Ma'tsur 'Pesan-Pesan Moral Dalam Alquran'.Kajian ini akan memberikan gambaran kefahaman beliau dalam mengulas ayat-ayat al-Qur'an yang berkaitan dengan pesan-pesan 3] Pembunuh Ali, Abdurrahman bin Muljam al-Muradi, dalam banyak kitab disebutkan sebagai paling celakanya manusia di muka bumi. Lihat kitab-kitab semisal Thobaqoot Jil:3 Hal:21 karya Ibnu Sa'ad, Tarikh al-Baghdadi Jil:1 Hal:135, Usud al-Ghabah Jil:4 Hal:24 karya Ibnu Atsir, Qoshos al-Ambiya' Hal:100 karya ats-Tsa'labi. Merekamenggiring sejumlah wanita muslimat anggota-anggota Ahlul-Bait sebagai hamba hasil rampasan perang, termasuk Zainab binti Ali bin Abi Talib k.w, cucu puteri Rasulullah.' Kedahsyatan kejadian di Karbala, menurut Taha Hussein, sejarawan terkenal Mesir itu telah menjadi episod paling malang dalam sejarah umat Islam. .
  • f60gqy53y9.pages.dev/464
  • f60gqy53y9.pages.dev/258
  • f60gqy53y9.pages.dev/177
  • f60gqy53y9.pages.dev/215
  • f60gqy53y9.pages.dev/279
  • f60gqy53y9.pages.dev/383
  • f60gqy53y9.pages.dev/468
  • f60gqy53y9.pages.dev/415
  • nasib pembunuh husain bin ali